15 Februari, 2007

Hitam-Putih Tambun Bungai di Era Teras-Diran

Pasangan Teras-Diran memuncaki perolehan suara dalam Pilkada Kalimantan Tengah yang diselenggarakan secara langsung pada 23 Juni lalu. Meski KPUD belum mengetuk palu sebagai bentuk kepastian kemenangannya, tapi hampir dipastikan pasangan inilah yang bakal menakhodai Bumi Tambun Bungai lima tahun ke depan. Pendukung Teras tentu gembira. Sebaliknya, pendukung pasangan lainnya mungkin kecewa.

Akan tetapi, apapun tanggapan atas hasil pilkada itu, kiranya, menjadi kurang penting bila dibandingkan dengan persiapan menghadapi realitas politik pascakemenangan pasangan ini.
Teras-Diran dan pendukungnya tak boleh terlalu larut dalam gempita kemenangan karena segala janji yang digeber saat kampanye menuntut pembuktian selekasnya. Rakyat Tambun Bungai tak bisa menunggu lebih lama lagi.

Bisakah Teras-Diran memenuhinya? Paling tidak, rakyat Tambun Bungai telah mempercayai pasangan ini. Dan ini adalah modal terpenting. Hanya saja, hitam-putih Bumi Tambun Bungai ke depan lebih ditentukan oleh kepiawaian Teras-Diran menyikapi setting sosial-politik yang berkembang. Kegagalan dalam membaca kondisi sosial-politik ke depan adalah ancaman bagi popularitas kepemimpinan mereka. Untuk itu, paling tidak, kepemimpinan Teras-Diran mesti tanggap pada dua hal: setting politik yang ditentukan oleh regulasi yang ada serta dinamika politik yang berkembang di tingkatan masyarakat akar rumput (grass roots) di Kalimantan Tengah.




Regulasi


Teras-Diran adalah pasangan yang terpilih secara demokratis melalui pilkada langsung yang dipayungi oleh UU Nomor 32 Tahun 2004 Tentang Pemerintahan Daerah. Dan mungkin terpilihnya pasangan ini merupakan yang paling demokratis sepanjang sejarah pemilihan kepala daerah di provinsi ini. Persoalannya, UU No 32 Tahun 2004—yang telah memungkinkan terpilihnya pasangan ini secara demokratis—juga menyiratkan upaya resentralisasi yang kental.



Sebuah upaya yang kontradiktif bagi proses demokratisasi di daerah.


Upaya resentralisasi itu, setidaknya, tampak dari bagaimana kontrol vertikal pemerintah pusat melalui jalur birokrasinya yang merasuki tubuh pemerintahan daerah, bahkan sampai unit pemerintahan yang terkecil. Bukan rahasia lagi jika sekian lama, birokrasi menjadi jalur bagi kontrol politik unit pemerintahan di tingkat atas. Independensi penyelenggaran politik dan pemerintahan di ranah lokal karena itu menjadi terancam. Sebagai misal, adalah bagaimana kita melihat posisi Sekretaris Daerah (Sekda) di kabupaten/kota atau provinsi dalam relasi politik. Sekda, oleh UU No 32 Tahun 2004, adalah jabatan birokrasi yang eksistensinya lebih ditentukan oleh garis kewenangan pemerintahan di atasnya. Apakah kemudian, Sekda lebih taat pada pemerintahan di mana ia berada atau kepada level pemerintahan yang lebih atas? Dalam relasi kuasa, jawabnya, tak seorang pun yang akan mudah mengira.


Teras mungkin boleh membantah pendapat seperti ini karena ia pernah terlibat—atau setidaknya tahu—bagaimana proses UU ini diolah. Tapi, tentunya, ia tak semestinya berpegang pada prinsip si pembuat kebijakan semata, melainkan mesti jeli membaca pemahaman lain di masyarakat, yang tentu saja memiliki bobot politik tertentu. Terpilihnya Teras sesungguhnya sebuah terobosan bagi daerah ini. Teras bukan orang yang dibesarkan lewat jalur birokrasi. Kehadiran Teras dengan demikian membawa harapan baru bagi munculnya sosok pemimpin nan cakap, berbeda dari pemimpin-pemimpin sebelumnya, yang notabene lahir dari tradisi birokrasi yang patrimonialistik itu. Maka, amat disayangkan jika sosok yang lahir dari “tradisi baru” ini pun kemudian terjerembab oleh regulasi yang melanggengkan tradisi birokratis yang sebenarnya telah lapuk itu.


Dinamika Politik Akar Rumput


Pembacaan atas dinamika politik akar rumput juga menjadi faktor penting yang turut menentukan hitam-putih kepemimpinan Teras-Diran. Dinamika politik akar rumput bisa ditentukan oleh respon terhadap regulasi yang ditetapkan oleh keputusan elite politik maupun oleh dinamika politik horizontal yang telah mengakar lama. Keduanya terkadang juga tidak saling terpisah, melainkan saling berkaitan. Produk regulasi yang diciptakan elite tak saja dapat menimbulkan reaksi di tingkat akar rumput, tapi juga gejolak antarmassa akar rumput. Dalam kaitan ini, regulasi yang ditoreh oleh UU No. 32 Tahun 2004 boleh jadi menimbulkan ketidakpuasan masyarakat. Bahkan pada kemungkinan terparah, dapat menimbulkan konflik. Sebagai contoh, konflik bisa terjadi di unit penyelenggaraan pemerintahan desa. Kepala Desa yang dipilih secara demokratis dan karena itu memiliki legitmasi yang kuat di masyarakat desa mungkin bisa terlibat konflik dengan Sekretaris Desa yang dalam UU No 32. Tahun 2004 harus berstatus PNS. Penyebab konflik karena kepentingan politik desa dan adat yang mungkin diwakili oleh kepala desa bertentangan dengan sekretaris desa yang notabene “mewakili” struktur pemerintahan di atasnya.


Itu baru sebuah contoh. Ringkasnya, UU No 32. Tahun 2004, yang mestinya memperdalam upaya desentralisasi dalam rangka demokratisasi di tingkat lokal, tapi justru mengikis desentralisasi dan dengan begitu mengancam demokratisasi tersebut. Padahal di level akar rumput, wacana pilkada dan desentralisasi dipahami lebih luas dari sekadar bunyi butir-butir dalam pasal-pasal UU No. 32 Tahun 2004 itu. Masyarakat daerah memahami desentralisasi sebagai pengakuan kewenangan entitas politik lokal oleh politik pusat. Karena itu, masyarakat lokal memaknai dirinya mesti independen dan memiliki hak setara dengan masyarakat lainnya dalam menentukan nasib dan corak identitasnya sendiri.


Pasangan Teras-Diran mesti belajar dari fenomena tujuh tahun belakangan di Tambun Bungai. Sejak wacana reformasi dan demokratisasi sampai di tingkat lokal digulirkan, geliat politik lokal sampai dalam bentuk penguatan identitas daerah di Kalteng begitu kuat. Tentu saja, pemakanaan ulang atas identitas daerah menjadi penting sebagai wujud adanya demokrasi di daerah. Hanya saja, yang menjadi persoalan adalah bagaimana pemaknaan ulang akan identitas daerah itu berlangsung dinamis dan produktif, di mana keterlibatan seluruh elemen masyarakat lokal yang beragam mesti terjamin.


Sayangnya, tahun-tahun yang baru lewat, menunjukkan bahwa penguatan identitas daerah di Kalteng belum mengarah menjadi energi positif dan dinamis. Konflik yang melibatkan masyarakat akar rumput dengan atas nama konflik etnis, yang terjadi di tahun 2001 adalah catatan hitam yang menegaskan hal ini. Ke depan, peran pemerintah lokal di bawah kemudi Teras-Diran harus memastikan bahwa hal demikian tidak terjadi lagi. Teras-Diran harus mampu mengawal proses demokratisasi yang diiringi penguatan identitas lokal berlangsung secara dinamis dan positif.


Tapi, bisakah Teras-Diran melakukannya tatkala campur tangan pusat tampak menguat? Tidakkah yang mungkin terjadi ke depan adalah ketegangan atau konflik yang tidak saja bersifat horizontal, tapi juga vertikal (masyarakat lokal vis a vis negara)? Terang saja, masyarakat Tambun Bungai tak ingin membuktikan kebenaran kekhawatiran ini.


Artikel ini pernah dimuat di Harian Kalteng Pos, Palangka Raya, 29 Juni 2005

Tidak ada komentar: