01 Oktober, 2010

Tentang Spanduk Dayak di Demonstrasi Sengketa Pemilu Kada Kobar

Foto: Gusti Nopandi






Demonstrasi disertai aksi perusakan terhadap sejumlah fasilitas publik pada 23-24 September lalu di Pangkalan Bun, kembali mewarnai sengketa berkepanjangan pemilu kada Kotawaringin Barat 2010. Namun, kali ini saya tak hendak membahas secara khusus peristiwa tersebut. Saya hanya sedikit ingin membahas perihal spanduk. Ya, spanduk. Salah satu spanduk dalam demonstrasi itu mengusik perhatian saya.
Spanduk itu bertuliskan: MASYARAKAT DAYAK KOBAR MENDUKUNG PJS. BUPATI KOBAR AGUSTIN TERAS NARANG, SH., DALAM RANGKA PERSIAPAN PELANTIKAN H. SUGIANTO – H.EKO SOEMARNO, SH., BUPATI KOBAR PERIODE 2010-2015.


Sejauh pengamatan saya terhadap pemilu kada di Kobar tahun ini, isu atau aspirasi yang mengaitkan diri dengan istilah Dayak, tak tampak sangat di permukaan sebelum demonstrasi itu. Lalu, mengapa ia muncul saat demonstrasi itu?

Sebagai bentuk aspirasi, kehadiran spanduk itu wajar-wajar saja. Apa lagi, di sudut mana pun di bumi Kalimantan, selalu terdapat komunitas Dayak, the first nation people of Borneo. Cuma, karena masyarakat Dayak di Kobar itu banyak, sebenarnya masyarakat Dayak Kobar yang mana, yang dimaksud oleh spanduk itu? Mengingat pemilu kada adalah ajang kontestasi, maka saya yakin suara di kalangan masyarakat Dayak pun saling berkontestasi satu sama lain. Sekadar contoh, marilah kita lihat Pasir Panjang dan Arut Utara. Pastinya orang Kotawaringin Barat tak ada yang menolak jika Pasir Panjang dan Arut Utara disebut sebagai kawasan yang mayoritas dihuni, dan masih sangat identik dengan komunitas Dayak. Di kedua kawasan tersebut, baik pasangan Sugianto-Eko atau Ujang-Bambang, sama-sama memperoleh suara. Bedanya, Ujang-Bambang unggul di Pasir Panjang, sedangkan Sugianto-Eko menang di Arut Utara.

Kendati tidak tampak, anggota komunitas Dayak yang kebetulan mendukung Ujang-Bambang, mungkin bersikap tak setuju dengan spanduk itu. Dapat dipahami karena kehadiran spanduk dengan isi seperti itu bernada klaim. Seakan-akan itu menyuarakan aspirasi semua warga Dayak di Kobar. Tetapi memang, klaim-mengklaim sudah menjadi bagian dari kompetisi politik di mana pun. Ia telah menjadi bagian dari strategi politik. Jadi, andai pun sungguh benar ada masyarakat Dayak yang diwakili, kehadiran spanduk itu juga dapat dibaca sebagai bagian dari upaya mencapai target politik tertentu. Lalu, mengapa strategi itu menyertakan nama Teras Narang dan Dayak?

Teras Narang adalah gubernur Kalimantan Tengah yang pernah punya preseden menjabat sebagai PJS [Pejabat Sementara] Bupati, saat terjadi sengketa pemilu kada di Kabupaten Gunung Mas. Namun, sepertinya bukan karena preseden itu semata. Secara politis, dengan mendukung Teras sebagai PJS, kubu Sugianto-Eko pastilah mengasumsikan beberapa hal positif yang mungkin tercapai bagi kepentingan mereka. Hal ini juga bukan hanya sebagai bentuk perlawanan mereka terhadap keputusan MK, Mendagri, KPU Pusat. Dengan adanya PJS berarti pula masih tersedia kesempatan lebih panjang bagi usaha-usaha politik yang mungkin membatalkan keputusan Pusat itu. Dan, keberadaan Teras yang juga dikenal sebagai kader PDIP, partai yang juga mengusung pasangan Sugianto-Eko Soemarno, mungkin juga jadi perhitungan tersendiri.

Lalu, mengapa harus membawa nama Dayak? Karena Dayak termasuk azimat politik yang ampuh di Kalteng. Terbentuknya Kalteng, secara historis merupakan perjuangan etnis Dayak. Dalam sepuluh tahun terakhir, istilah Dayak boleh dikatakan memiliki bobot kekuatan politik yang paling tinggi di Kalteng. Pun, sebagaimana kita tahu, Teras Narang adalah figur politisi yang juga identik sebagai tokoh masyarakat Dayak. Bahkan, sekalipun dalam tradisi kebudayaan Dayak tak dikenal konsep monarki, Teras Narang pernah dibaiat atau dibaptis sebagai Pangeran Dayak. Jadi, Dayak di sini dapat dipahami sebagai faktor penguat tuntutan demonstrasi itu.

Kini, tuntutan dari demonstrasi dua hari itu tercapai. Teras ditetapkan sebagai PJS Bupati Kotawaringin Barat berdasarkan SK Kementerian Dalam Negeri RI No.131.62-757/2010. Sebagai penonton, menarik ditunggu apakah ke depan kubu Sugianto-Eko mendapatkan target politiknya yang positif atau sebaliknya, dengan diangkatnya Teras sebagai Pejabat Bupati Kobar.
Walau begitu, tulisan ini tidak ambil pusing siapakah bupati definitif yang akan dilantik kelak. Sebagai penonton yang kebetulan orang Kotawaringin Barat, orang Kalteng, beribukan Dayak, lama berinteraksi dengan orang-orang Dayak karena mereka adalah bagian dari diri saya juga dan saya juga merasa masih menjadi bagian dari mereka, dan sedikit belajar ilmu politik dengan konsentrasi politik komunitas dan politik identitas, saya hendak memberikan catatan bahwa memang penting ditempuh ikhtiar politik untuk mengangkat harkat dan martabat orang-orang Dayak. Pasalnya, sebagian besar mereka yang dimaksud sebagai bagian dari komunitas Dayak itu masih memprihatinkan kehidupannya. Alam kebudayaan mereka telah berubah. Lingkungan, sungai dan hutan yang dahulu dapat diandalkan untuk menopang kehidupan mereka kini tak lagi mendukung. Padahal, semua perubahan itu, bukan inisiatif mereka. Sementara itu, kemiskinan, pendidikan yang rendah, ladang pekerjaan yang baru dan pasti, masih menjadi masalah mereka. Namun, ikhtiar politik yang dilakukan harusnya lebih bersifat substantif, menyentuh problem riil masyarakat Dayak tersebut. Sayangnya, debat substantif tentang itu masih tenggelam oleh kegaduhan yang sifatnya instrumentatif bagi, dan bias, kepentingan kelompok semata. Mereka lebih dijadikan sebagi objek, bunga-bunga kampanye politik.

Kendati penggunaan Dayak sebagai instrumen pengorganisasian kekuatan politik boleh-boleh saja, saya kira ada baiknya itu diminimalisasi. Bukan apa-apa, toh pemeran utama dalam kancah kepolitikan Kalteng saat ini dapati disebut sebagai orang Dayak juga. Sudah saatnya, kita lebih serius bagaimana mahaga lewu dari ancaman yang lebih serius akan kerusakan alamnya, mamangun tuntang mengatasi rumitnya tantangan zaman saat ini: kemiskinan, kebodohan dan ketergantungan yang berlebih terhadap kekuatan ekonomi-politik dari luar kita.

Setuju, kan?

Tidak ada komentar: