13 Januari, 2020

Perempuan Bercadar di Bar Counter Cafe


Cafe di sudut persimpangan pertama setelah keluar dari kawasan Bandara Iskandar, itu satu dari sedikit cafe yang menyediakan berbagai single origin kopi di Pangkalan Bun, Kalimantan Tengah. Cafe ini pula yang kali pertama menyajikan kopi liberika, dari Kumpai Batu, Pangkalan Bun. PS Cafe & Resto, nama kedai kopi itu.

Namun, yang mungkin tak mudah dijumpai dari tempat nongkrong lain, di sini terdapat seorang pelayan perempuan yang mengenakan cadar (niqab).
Nuraini namanya. Ia biasa bekerja sejak cafe buka pada pukul 10.00 WIB di masa normal, hingga pukul 14.00 WIB. Lalu disambung malam hari, mulai pukul 19.00 WIB hingga tutup pada pukul 24.00 WIB.

Malam itu, Rabu (16/5/2018), Aini, begitu ia biasa disapa, pun bekerja hingga larut malam. Ia selalu bekerja di sekitar bar counter cafe itu. Ia bertugas meracik beberapa pesanan minuman, terkadang di belakang mesin kasir, atau menyajikan menu ke meja pengunjung, bersama satu atau dua teman kerja lainnya.

"Kalau di depan ini, apa yang enggak dikerjain, ya dikerjain. Kalau membuat kopi hitam (tubruk) dan vietnam drip (kopi susu) saya bisa. Kalau yang pakai mesin espresso, atau V60 belum bisa," tutur Aini sambil tertawa.

Aini satu-satunya perempuan yang bercadar di sana. Dua perempuan lain yang bertugas di bar counter, salah satunya hanya mengenakan jilbab biasa, dan seorang lainnya tak berjilbab.

Ia mengaku, mengenakan cadar sama sekali bukan penghalang untuknya bekerja di cafe. Karena yang menjadi faktor penentu ia memilih kerja adalah boleh-tidaknya mengenakan jilbab syar'i atau cadar.

"Karena pertama, aku cari kerjaan lihat-lihat dulu. Bisa enggak pakai pakaian gini. Aku tanya dulu, boleh enggak pakai syar'i. Kalau enggak boleh aku enggak ambil," ungkapnya.

Karena kesadaran
Menurut perempuan lulusan SMK ini, ia bercadar karena kesadaran sendiri. "Pengen lebih taat sama agama saja. Enggak ada paksaan. Karena memang niat diri sendiri," bebernya.

Uniknya, pemicu utama sampai akhirnya Aini memutuskan memakai cadar, terjadi setelah ia terinspirasi dari posting di media sosial, dan sering melihat perempuan bercadar ke mall kecil, di seberang cafe tempatnya bekerja.

"Aku suka lihat Oki Setiana Dewi. Lalu, lihat-lihat orang pakai cadar di Citimall, jadinya geregetan sendiri, mau cepat pakai," kata perempuan kelahiran 1994 ini.

Namun, ia pun mengaku sebelum memutuskan bercadar, secara bertahap ia memakai jilbab terlebih dahulu, sejak kelas dua SMK. Lalu mulai 2016 ia mengenakan jilbab syar'i, yang berukuran lebih besar dan menutup tubuh lebih banyak.

Selain karena alasan ingin lebih taat agama, Aini mengatakan dengan bercadar ia ingin lebih menjaga diri dari gangguan orang-orang iseng. "Itu kan sunah. Terus ya pengin aja. Maksudnya pengen menjaga. Aku sudah pernah mengalami, pakai jilbab masih diganggu. Digodain sama cowok, disiulin gitu, kan risih. Padahal sudah pakai jilbab," kata dia.

Ia mengaku, saat pertama kali memutuskan bercadar, keluarganya pun sempat mempertanyakan. Namun, ia tetap bergeming.

"Kalau ayah mikirnya soal jodoh. Gimana mau dapat jodoh, orang mukanya ditutupin, gitu katanya. Kalau ibuku, bilang ih jelek, kaya jaula. Jaula itu kalau ditempat aku sebutan untuk orang-orang yang bercadar, berjenggot, bercelana cingkrang."

Disangka orang Arab
Namun, meski di tempat umum fenomena orang bercadar makin mudah dijumpai, prasangka yang menyertai kehadiran mereka pun masih ada. Apalagi di tengah munculnya aksi kelompok Islam radikal yang dituding berada di balik banyak aksi teror belakangan ini.

Walaupun tak punya pengalaman serius, Aini pun mengaku prasangka terhadap dirinya yang bercadar selalu ada. Mulai dari perasaan ia ditatap aneh oleh pengunjung, dikatain kura-kura ninja saat melintas di jalan, sampai ada yang menanyakan apakah dirinya berasal dari Arab.

"Kalau yang kaya gitu sih, Alhamdulillah enggak dimasukkan dalam hati sih. Aku anggap becandaan aja," tutur perempuan peranakan Sunda-Banten, kelahiran Kalimantan ini.

Beberapa komentar orang pun, ia anggap santai, sebagai pengetahuan saja. "Ada yang bilang juga, ini kalau misalkan di UIN, enggak boleh pakai cadar, sudah ditangkap, disuruh lepas. Bapak-bapak yang bilang gitu yang suka ngopi pagi. Ketawa aja aku," katanya lagi.

Ada pula pengunjung yang berpendapat, kalau bercadar lebih baik tidak bekerja di cafe. "Ada waktu itu pengunjung bilang, dari pada kamu kerja di sini, mending mondok sama saudara saya di Jawa," tuturnya menirukan ucapan pengunjung itu.

Meski begitu, semua komentar itu dianggapnya tidak mengganggu. Ia tetap gembira kerja di cafe itu, dan sekali waktu di tengah sesi jeda, ia mulai mengikuti pengajian sesama muslimah di Masjid Agung Pangkalan Bun.

Ia mengaku beruntung, karena banyak temannya yang lain, iri karena di tempat kerjanya belum memungkinkan menggunakan cadar. "Ih enak ya kerja di sini, boleh pakai cadar," ucapnya, menirukan seorang temannya yang bekerja di hotel.

Toleransi pemilik cafe
Lebih beruntung lagi, keputusan bercadar itu sama sekali tak ditolak oleh pemilik cafe tempatnya bekerja. Kali pertama bekerja di sana, akhir 2016, Aini memang belum bercadar, ia baru mengenakan pakaian hijab syar'i. Ia sempat berhenti setelah Lebaran 2017, karena ibunya sakit. Dan, ia kembali ke cafe itu pada Januari 2018, dengan mengenakan cadar.

Herawati (35), pemilik cafe itu pun mengaku, tak pernah mempersoalkan cadar karyawannya itu. Baginya itu adalah hak yang harus dihargai.

"Itu semacam privasi, pilihan hidup dia. Aku enggak bisa beda-bedain orang. Prinsipku seperti itu. Waktu Ahay (sepupunya yang juga pernah mengelola cafe itu) jadi mualaf, aku enggak mempersoalkan," tutur Herawati, yang biasa disapa Cece itu.

"Bukan Aini saja. Aku berteman dengan Muslim di sini sejak 18 tahun lalu. Mama angkatku juga ada yang muslim. Aku juga belajar sabar, bijak dari mereka," aku Cece yang mengaku masih menjalani tradisi Konghucu dengan serius itu.

Perempuan kelahiran Pontianak ini mengaku, bahkan terkesan dengan sapaan 'Assalamualaikum' yang dimiliki kaum Muslim. "Itu say hello yang terdengar sopan banget. Enggak kaya kita yang biasanya hai, oi, kalau ketemu teman," ujar Cece, peranakan Tionghoa yang beribukan dengan marga Liu itu.


----
NOTE: Tadinya laporan ini dibuat untuk sebuah media daring nasional tempat saya pernah jadi kontributor pada Mei 2018. Tapi tidak dimuat.... 😃

#Cadar #Hijab #Muslimah #PerempuanBercadar #PangkalanBun


Tidak ada komentar: